“Allah-lah yang telah mencipatakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian dia mengeluarkan dari air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezeki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendaknya, dan dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya) dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.”
(Qs. Ibrahim/14:32-33)
Dikisahkan dalam sebuah anekdot tashawuf , ada seorang syaikh yang hidup sederhana. Ia makan sekedar yang dibutuhkannya saja, hanya untuk menghilangkan lapar. Sebagai seorang nelayan, setiap pagi ia memancing ikan. Setiap hari setelah mendapatkan ikan banyak, ia membelah ikan-ikan itu menjadi dua; batang tubuh ikan-ikan itu dibagikan kepada tetangganya, sementara kepalanya ia kumpulkan untuk dimasaknya sendiri. Karena terbiasa makan kepala ikan itulah ia diberi julukan Syaikh kepala ikan. Ia seorang sufi yang memiliki banyak murid.
Salah satu muridnya hendak pergi ke Mursia, sebuah daerah di Spanyol. Kebetulan Syaikh kepala ikan ini mempunyai seorang guru sufi besar di
Saat gurunya mendengar nasehat yang diperoleh melalui muridnya, hanya tersenyum dan sedikit sedih. Si murid mengernyitkan kening tambah tidak faham. Apa maksud nasehat itu? Guru itu menjawab, “Guruku itu benar, menjalani hidup tashawuf itu bukan berarti harus hidup miskin. Yang penting hati kita tidak terikat oleh harta kekayaan yang kita miliki dan tetap terpaut dengan Allah SWT. Bisa jadi orang miskin harta, tapi hatinya memikirkan dunia. Saya sendiri waktu memakan kepala ikan, masih sering membayangkan bagaiman enaknya makan ikan yang sebenarnya?”
Kisah ini menunjukkan dua hal; menjadi orang kaya itu tidak mesti jauh dari kehidupan sufi dan menjadi orang miskin tidak otomatis mendekatkan orang pada kehidupan sufistik. Syaikh al-Akhbar yang disebut di atas adalah Muhyiddin ibnu ‘Arab, salah satu sufi terbesar yang paling cemerlang dalam sejarah perkembangan tashawuf.
Seorang sufi lain mengatakan, kehidupan tashawuf adalah membiarkan tanganmu sibuk mengurusi dunia, dan membiarkan hatimu sibuk mengingat Allah SWT. Tashawuf bukan berarti mengisolir dan menjauhkan diri dari keramaian. Meskipun pada saat-saat tertentu kita pelu menyendiri, berkhalwat bersama Allah SWT. Seperti dalam shalat tahajjud di malam hari, I’tikaf, dan sebagainya. Imam Ghozali mengatakan, jiwa harus merawat tubuh sebagaimana orang mau naik haji harus merawat ontanya. Tapi kalau ia sibuk dan menghabiskan waktunya untuk merawat onta itu, memberi makan dan menghiasinya, maka kafilah (rombongan) akan meninggalkan dia. Dia pun bisa mati di gurun pasir. Artinya, kita bukan tidak boleh merawat (memenuhi kebutuhan-kebutuhan) fisik kita tapi yang tidak boleh adalah kita terpaku di dalamnya. Ilustrasi lain, Imam al-Ghazali bertanya “apakah uang itu membuatmu gelisah? Orang yang hatinya terganggu oleh uang belumlah menjadi seorang sufi”. Jadi persoalannya kita bukan tidak boleh mempunyai duit. Justru, bagaimana caranya kita punya duit. Tapi pada saat yang sama hati kita tidak terganggu dengan harta yang kita miliki.
Menurut Ibnu ‘Arobi, dunia ini adalah tempat kita diberi pelajaran dan harus menjalani ujian, ambillah yang kurang dari yang lebih, di dalamnya. Puaslah dengan apa yang kamu miliki, betapapun yang kamu miliki itu kurang dari pada yang lain. Tapi dunia itu tidak buruk. Sebaliknya, ia ladang bagi akhirat. Apa yang kamu tanam di dunia ini, akan kamu panen di akherat nanti. Dunia adalah jalan menuju kebahagiaan puncak, dan karena itu baik, layak untuk dipuji dan dielu-elukan demi kehidupan akherat. Yang buruk, lanjut Ibnu ‘Arabi, jika apa yang kamu perbuat untuk duniamu itu menyebabkan kamu buta terhadap kebenaran oleh nahsumu dan ambisi terhadap dunia.
0 disinilah.:
Posting Komentar