Dua malam berturut-turut, yakni malam dua versi idul fitri, Markesot menghilang. Tidak ikut melembur takbiran, baik di mushola sebelah maupun markas KPMB.
“Sebenarnya sejak beberapa hari sebelum lebaran, beberapa kawan pernah ngonangi Markesot rengeng-rengeng takbiran. Aneh. Wong masih ramadlan kok takbiran. Ketika ada yang mengur dan ada yang mewmpertanyakannya, Markesot menjawag: “Apanya yang aneh, yang takbiran inibukan mulut saya, melainkan jiwa saya. Kalau mulut dan badan saya terikat oleh perbedaan antara kemarin, hari ini, dan besok pagi. Badan saya butuhmakan hari ini meskipun kemarin sudah makan. Tapi kalau jiwa saya bisa melintasi waktu, kebelakang maupun ke depan. Jadi jiwa saya bisa saja mampir sebentar pada seminggu yang
“opo maneh iku!…….. celetuk kawan-kawannya.
Tapi memang ketika takbiran itu wajah Markesot tampak sangat serius, matanya agak meredup dan seaka-akan mau menangis. Diam-diam yang mendengarkan juga ikut merinding.
“Jadi kalu jiwamu sudah mampir di hari idul fitri, apa lantas tidak puasa”
“Badan saya tetap puasa selama ramadlan. Kalau jiwa saya puasa terus menerus dan beridul fitri terus menerus. Jiwa saya belebaran tidak setahun sekali, melainkan tergantung pada pencapaian puasa yang ia lakukan. Terkadang beberapa jam sekali, terkadang bebrapa hari, atau beberapa minggu sekali.”
Ah, pusing mendengarkan omongan orang yang ngengkleng macam Markesot ini. Orang kok tidak lumrah.
Tapi ia nongol juga tatkala sembahyangan. Dan sesudah bersibuk halal bihalal, maaf-maafan dengan siapa saja yang ia jumapai, Markesot sibuk di markas KPMB, membaca berkas-berkas.
“Apa itu, Sot?”
“Pohon sejarah” jawabnya.
“Laisal fataa man yakulu kana abiy, walaakinnal fataa man yakulu ha ana dza!,” sindir serang kawan,” pemuda bukan seseorang yang berbangga, ‘inilo leluhur saya!, melainkan ia berkata’ ini dadaku!.
“Memang kalu hari raya begini famili-famili pada sibuk megurus pohon silsilah mereka,” ujar kawan yang lain, “Pokokny setiap orang ingin memperoleh kejelasan bahwa dia adalah keturunan Nabi Muhammad.”
“Padahal tuhan dan para malaikat petugas kelak tidak akan pernah menanyakan engkau turunan siapa, melainkan apa yang engkau perbuat di dunis!” temanlainnya lagi menambah. Lama-lama Markesot menjawab juga.
“Memang terserah saya ini keturunan Sakerah, Brudin, Aryo Penangsang, Ronggo Lawe, ataukah Abu Lahab,” katanya, “Bukan itu yang penting. Saya hanya ingin mencari diri saya sendiri. Hidup seseorang tidak dimulai pada detik tatkala ia lahir atau ketika mulai menjadi janin. Sebab itu produk saja dari suatu sejarah yang panjang, dengan watak dan katuranggannya sendiri. Hidup seseorang—sebagaio watak, kecenderungan, takdir, atau model nasib—dimulai jauh sebelum ia berasal usul untuk ada secara fisik. Saya berusaha secara fisik. Saya berusaha mengenali leluhur saya agar saya mengerti kenapa saya punya kecenderunga-kecenderungan hidup seperti yang saya kenali dan saya alami sekarang ini. Mangga beranak mangga dan jambu beranak jambu. Dengan mengetahui ‘jambu’ saya di masa silam, saya menjadi punya pengetahuan psiko—genekologis yang bermanfaat untuk lebih menata diri saya sendiri. Tuhan memiliki kehendak yang berbeda-beda atas setiap orang. Tuhan punya kehendak atas hidupsaya, oleh karen itu saya diletakkan dalam garis tertentu, sehingga yang harus saya lakukan adalah menyesuaikankehendak saya dengan kehendaknya.
“jadi apakah sudah ketemu bahwa kau inisebenarnya memang keturunannya wong gendeng?”
“Lebih dari gendeng. Saya adalah keturunan manusia serbuk yang tak berwajah, yang hidup dibelakang layar, yang menafikan eksistensi, tetapimenyifati ‘pohon-pohon’. Saya jadi faham kenapa saya punya kecenderungan untuk membuang-buang diri, sebab gen saya memang begitu. Saya tidak mau membanggakan, tetapisaya butuh pengetahuan uswah hasanah leluhur. Buyut saya mendirikan tujuh masjid besar di berbagai daerah dengan uang pribadi, dan ternyata saya hany seorang gelandangan,”
demikianlah belum usai markesot njelu-njelu nasib
insinyur Tri susanto itu siapa sih sebenarnya? Kok kendel temen. Dapat wangsit ronggo lawe apa giman?
Memang ada hikmahnya. Kita semua jadi berpikir apakah dalam kehidupan dalam sehari-hari kita masih punya tuhan yang kita patuhi pewanti-wantinya. Kalau kita masuk warung sate, kok selama ini kita tidak berfikir apakah tadi kambingnya disembelih secara islam. Kalau masuk restoran ayam goreng, kenapa kita tak curiga cara nyembelihnya tidak dengan borongan mesin belaka.
Pantas dulu kelompok pelajar mahasiswa islam
Sikap mbrengkel itu barangkali wajar. Siapa tahu segalanya sudah dibuat luwes. Haram saja bisa dihalalkan, itu tergantung musyawarah dan permufakatan, antar fihak-fihak yang tidakimbang kekuatannya. Status barang atau perbuatan itu jadi hanya wajib, sunnat, halal, makruh, haram, melainkan bisa juga haram yang kehalal-halalan, halal yang kewajib-wajiban, dan seterusnya. ‘
Kalau tetangga kita bangsa Mlaysia itu pada umumnya kolot, konservatif. Misalnya mereka ndak mau impor daging sapi dari Austrlia. Maunya impor sapi. Jadi mereka sendiri yang menyembelih. Pemerintah
Mereka belum sanggup mencampur aduk nilai-nilai. Mencampur warna-warna. Tidak ada hitam atau putih, yang ada kelabu.
Misalnya ada yang sok konstektual. “kenapa sih yang kita ributkan kok lemak babi dalam soal makanan?” katanya. “Kenapa kita tidak lebih mengutamakan lemak babi dalam konteks politik misalnya? Atau kebudayaan dan moralitas ekonomi kita? ‘
Memang dulu Nabi Muhammad pernah mewanti-wanti bahwa akan ada sesutu dalm sejarah: tali-tali islam akan terurai satu persatu. Sampai tinggal dua utas tali. Dan kalau dua utas tali itu udar juga, maka lengkapalh kegelapan umat islam. Dua utas tali itu adalah hukum (Syariat), kemudian shalat.
Tapi ya Wallahu a’lam. Kita hanya tahu apakah sesuatu hitam atau putih, hanya kalau kita mengambil jarak darinya. Kalau anda nemplek ke wajah seseorang. Anda tidak akan bisa melihat wajah seseorang itu. Barang siapa gendeng. Apakah kita berada di jaman jahiliyyah, kita juga sukar tahu, karena kita tak punya jarak dengan kejahiliyaan. Apakah kita sedang menyembah Fir’aun, apakah kita sedang menganut idiologi Pharaoisme, kita susah mengerti, karena kita tenggelam—dari merasa enak—di dalamnya.
Tapi Markesot belum paham persisi sebenarnya apa yang terjadi dengan kasus lemak babi ini.
Kata Markesot, mungkin kita memang tak butuh ulama. Yang kta butuhkan: Ubaru…..
0 disinilah.:
Posting Komentar